Pada pertengahan abad ke-19, koran-koran dan daftar-daftar registrasi kendaraan laut Hindia Belanda mulai mencatat sejenis perahu baru yang disebut ‘penisch’, ‘pinis‘, ‘pinas‘ atau sebunyiannya. Jelaslah, istilah-istilah ini tak mungkin tidak berhubungan dengan kata ‘pinisi‘ – akan tetapi, bagian terbesarnya penisch atau pinis yang disebut dalam sumber-sumber itu sama sekali tidak bertalian dengan Sulawesi. Anda dapat melacaknya sendiri: Perahu-perahu tipe ini mulai terdaftar di Nusantara bagian barat, dan berikutnya menyebar ke Kalimantan dan Bali, dan pada umumnya adalah milik orang Melayu, Tioanghoa dan bahkan Belanda. Dalam daftar registrasi kendaraan laut asal Makassar masa itu kami sampai sekarang belum mendapatkan satu pun catatan perahu tipe itu – maka, ya, pertengahan abad ke-19 itu belum ada pinisi di Sulawesi.
Sejauh kami dapat melacaknya, sepanjang abad ke-19 tipe perahu ini luput dari perhatian para pengamat dan etnografer: Deskripsi pertamanya yang kami temukan terdapat di bawah kata -maaf- ‘penis’ pada entri ‘vaartuigen’, 'kendaraan laut', dalam jilid IV Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië terbitan 1906:
"Sejenis perahu dalam negeri yang berbentuk sekunar, dengan satu batang tiang yang besar dan satu yang kecil, berasal dari pantai Jembrana (Bali), dan di situ sering dibangun, di antara lain, di kampung Bugis Loloan. Kelihatannya jenis kapal itu juga dikenali di pantai selatan Celebes, dan juga di Banjarmasin."
Penjelasan ini didasarkan atas “informasi pribadi oleh H.L.Ch. te Mechelen”, dan tidak terdapat dalam sejumlah sumber yang disebutkan di bawah entri itu – dan tipe perahu ini juga tidak disebut dalam kedua tulisan tentang perahu-perahu abad ke-19 ini.
Sebutan tertua tipe perahu ini yang kami ketahui terdapat dalam daftar kepemilikan kendaraan laut tahun 1837 asal Bengkulu: Di antara sekian banyak jenis perahu indigen tercatat sebuah perahu penisch yang dimiliki dan dinakhodai ‘Sie Gantie’. Bagaimana pun, perahu ini tak terdapat dalam daftar-daftar serupa asal tahun-tahun sebelumnya – dan pada tahun berikutnya ternyata hanya tercatat tipe-tipe kapal ‘Barat’. Perahu-perahu yang digolongkan di bawah kata yang sebunyi dengan pinis muncul kembali dalam catatan administrasi pemerintah Hindia-Belanda tahun 1864:
“Pada tahun itu tercatat empat perahu ‘pinisch’ asal Belitung yang semuanya milik dan bernakhoda orang Melayu atau Tionghoa setempat. Perahu-perahu itu berukuran kecil – yang paling besar, pinisch Paulina milik Tjen Kang Ngie, dapat memuat 50t, artinya, panjang kira-kira 17m; daya muat tiga perahu lainnya tak melebihi 20t. Pada tahun-tahun berikutnya, makin banyak perahu yang nama tipenya sama atau serupa terdaftar di kawasan kepulauan Belitung-Riau; sampai tahun 1872, ketika perahu berukuran kecil tak lagi didaftarkan [...], tipe ini telah tersebar sampai ke Pulau Bali – namun, sampai saat itu tiada satu pun perahu sejenisnya yang tercatat di Pelabuhan Makassar.” (1, hlm. 36)
Dalam daftar-daftar administrasi Hindia-Belanda perahu-perahu itu dibedakan dari baik berbagai schoener, ucapan 'sekunar' dalam Bahasa Belanda, maupun berjenis-jenis perahu seperti toop atau lancang yang dicatat di tempat yang sama – artinya, para syahbandar menganggapnya sebagai sejenis perahu tersendiri. Pada tahun 1860-an, penisch terbesar yang terdapat dalam daftar-daftar itu, 'Soen Hin' asal Belitung, memuat 25 last (50t); yang paling kecil, 'Fattahul Karim', hanya membawa 12t muatan. Dan – para pemilik dan nakhoda perahu-perahu Belitung dan Bangka ini bukan pendatang dari Sulawesi, tetapi orang Tionghoa dan Melayu.
Hal yang sama ditemukan pada berita-berita perkapalan dalam koran-koran Hindia-Belanda dan Singapura asal pertengahan kedua abad ke-19: Dalam 70-an sebutan penisch dan yang sebunyinya yang sempat kami periksa hanya terdapat satu perahu yang sepertinya milik seorang Sulawesi, yaitu sebuah perahu milik “Daing Tauw” yang pada awal bulan April 1869 masuk Batavia dari Lampung dengan muatan lada dan damar. Salah satu sebutan ‘pinis’ tertua yang cukup lengkap beritanya adalah kabar Java-Bode tanggal 1859-02-26 tentang terdamparnya “praauw-pinis Penelope” milik seorang Tionghoa bernama A-Oeij asal Belitung di pantai Timur Pulau Bintang, Riau; ada pun kedua “sekunar pinas” 'Soekaramah' dan 'Srie Boengnga Mawar' asal Belitung yang pada tahun 1877 dan 1878 sering singgah di pelabuhan Semarang; dan ada juga, misalnya, perahu-perahu pinas, phinis dan penis[ch] 'Bembo', 'Gustia', 'Sin Eng Bie' atau 'Sri Sandakan' asal Serawak, Kalimantan, yang pada tahun 1890-an masuk-keluar pelabuhan yang sama. Kebanyakan perahu itu melayari Nusantara bagian barat saja, dengan Lampung, Bali dan Belitung sebagai tujuan atau tempat keberangkatan yang paling banyak disebut – memang, tak satu pun dari perahu di atas ini berlayar dari atau menuju ke Sulawesi. Anda dapat simak berbagai berita surat kabar lainnya pada halaman 9-12 tulisan ini.