Daerah Tanah Beru - Bira - Ara, tahun 1930-an

'Limo-Limo' sepertinya menunjukkan kampung Lemo-Lemo, asal para panrita lopi, ‘maha-ahli pembuat perahu’, terkenal. Dalam tradisi masyarakat setempat, ‘dahulu’ pusat pembuatan perahu memang terdapat di situ – akan tetapi, kepada George E.C. Collins, seorang Inggris yang pada tahun 1930-an ingin memesan sebuah perahu di situ, Raja Bira kala itu menyarankan pengrajin perahu asal Ara, sebuah kampung beberapa kilometer ke utara dari Bira:
" 'Tempo dulu', Sri Karaeng [Raja] menerangkan kepada saya, 'pembuat perahu Lemo-Lemo jelaslah yang terbaik di Celebes. Perahu-perahu palari para raja Gowa biasanya dibuat di situ. Tetapi sekarang semua orang mengatakan bahwa mereka kehilangan keterampilannya dan bahwa hasil pekerjaan mereka tidak baik. Pembuat perahu Ara kini yang terbaik di antara kedua [kampung itu].' "

html templates

Kedua buku Collins tentang pengalamannya di Sulawesi bukan hanya menceritakan proses pembangunan perahunya, tetapi menggambarkan juga beratus detil kehidupan masyarakat pelaut Bira, sehingga menjadi sumber paling otentis dan lengkap akan keadaan ‘negeri pembuatan perahu’ dan pelayar sebelum Perang Dunia II ini.  Sepucuk tulisan yang lebih pendek tetapi hampir semasa dan setopik (serta dari sudut pandang orang Singapura, salah satu tujuan pelayaran orang Bira ...) bisa diakses di sini.
Bagaimana pun, Collins pun mengeluh tentang tukang-tukang perahunya: "Merekam semua muslihat yang dicobakan [kedua tukang Ara yang membangun perahunya] dan kelompok bajingannya bisa mengisi setengah dari buku ini …" ... 


Pada tahun 1950-an daerah para pelayar dan pembuat perahu ini menjadi persembunyian 'gerombolan', pasukan-pasukan liar yang melawan pemerintah Indonesia yang baru saja menang Perang Kemerdekaan.  Kekacauan dan kesewenangan yang ditimbulkan milisi-milisi itu mendorong makin banyak penduduk Lemo-Lemo dan Ara untuk berpindah ke Tana Beru, di mana mereka dilindungi tentara pemerintah Republik Indonesia yang bermarkas di situ.  Di 'Tanah Baru' inilah mereka membangun kembali galangan-galangan perahu – dan karena pantainya yang terlindung, berpasir dan datar serta adanya berbagai jalan dan jalur komunikasi mendukungnya, kampung itu kini menjadi pusat pembuatan perahu se-Nusantara.