Asal-usul pembuatan perahu di daerah Bontobahari telah menjadi topik sekian banyak kisah dan cerita rakyat setempat – dan sudah jelas, merekamnya menjadi salah satu pekerjaan rumah pada program riset tentang tradisi kemaritiman Sulawesi Selatan ini.

best css templates
Salah satu naskah Epos La Galigo (courtesy Sirtjo Koolhof, 2008)

Legenda terkenal dihubungkan dengan Epos La Galigo, serangkaian naskah yang mengisahkan awal kerajaan Luwu, salah satu negeri di ujung utara Teluk Bone.  Konon ceritanya, salah seorang putera mahkota kerajaan yang bernama Sawerigading jatuh cinta pada adik kembarnya, We Tenriabeng.  Karena suatu percintaan yang demikian melanggar adat dan susila maka Sawerigading diminta meninggalkan Luwu dan berlayar ke ‘Cina’, di mana tinggal seorang putri kerajaan yang separas dengan adik kembarnya itu. 

'Waka Welenreng', perahu Sawerigading, menurut salah satu naskah La Galigo (courtesy Sirtjo Koolhof, 2008)


Sebuah perahu besar, ‘Waka Welenreng’, dibangun untuknya; dan setelah menjalani berbagai petualangan, Sawerigading akhirnya berhasil meminang puteri yang bernama We Cuddai itu.  Akan tetapi, ketika ingin berlayar pulang ke Luwu, perahu Sawerigading tenggelam terpecah-belah di Selat Selayar – dan pecah-pecahan yang terdampar di pesisir Lemo-Lemo, Bira dan Ara dikumpulkan oleh masyarakat setempat untuk disusun kembali menjadi perahu pertama yang dibangun di daerah itu.


Ada berbagai versi legenda itu: Menurut orang Lemo-Lemo, lunas dan gading-gading lambung hanyut ke pantai di depan kampung, sehingga merekalah mendapatkan rumus pembuatan perahu yang terdapat di atas lunasnya itu; menurut orang Ara, papan-papannya yang terdampar di pantai mereka dipasangkan ulang sehingga menjadi teladan bagi perahu-perahu buatan mereka.  Tiang perahu terdampar di Bira, sehingga orang Bira belajar berlayar dan menjadi pelaut ulung.
Beberapa versi legenda itu terdapat di sini, sini, atau sini

Bagaimana pun, kisah ini sebenarnya tak terdapat dalam siklus La Galigo: Dalam jalur ceritanya yang tergambar dalam berbagai naskahnya, Sawerigading akhirnya kembali ke Luwu dengan selamat – dan negeri ‘Cina’ yang ia tujui pada pelayarannya mencari We Cuddai pun bukan Tiongkok, tetapi dengan eksplisit dinamakan “Tana Ugi”, ‘Tanah Bugis’, yang berdasarkan berbagai temuan arkeologi diperkirakan terletak di kawasan Ale Cina, berdekatan dengan aliran sungai Cenrana di tengah sebelah timur jazirah Sulawesi Selatan.
Ya, jelaslah, legenda ini tak lebih daripada salah satu ikhtiar untuk “membenarkan cara kehidupan orang-orang Bontobahari yang tergantung dari pembuatan perahu [dan pelayaran / perdagangan laut].  Dengan ini mereka menjustifikasi monopoli mereka atas pembuatan kapal.” (1, hlm. 10)