Asal-usul pembuatan perahu di daerah Bontobahari telah menjadi topik sekian banyak kisah dan cerita rakyat setempat – dan sudah jelas, merekamnya menjadi salah satu pekerjaan rumah pada program riset tentang tradisi kemaritiman Sulawesi Selatan ini.
Legenda terkenal dihubungkan dengan Epos La Galigo, serangkaian naskah yang mengisahkan awal kerajaan Luwu, salah satu negeri di ujung utara Teluk Bone. Konon ceritanya, salah seorang putera mahkota kerajaan yang bernama Sawerigading jatuh cinta pada adik kembarnya, We Tenriabeng. Karena suatu percintaan yang demikian melanggar adat dan susila maka Sawerigading diminta meninggalkan Luwu dan berlayar ke ‘Cina’, di mana tinggal seorang putri kerajaan yang separas dengan adik kembarnya itu.
Sebuah perahu besar, ‘Waka Welenreng’, dibangun untuknya; dan setelah menjalani berbagai petualangan, Sawerigading akhirnya berhasil meminang puteri yang bernama We Cuddai itu. Akan tetapi, ketika ingin berlayar pulang ke Luwu, perahu Sawerigading tenggelam terpecah-belah di Selat Selayar – dan pecah-pecahan yang terdampar di pesisir Lemo-Lemo, Bira dan Ara dikumpulkan oleh masyarakat setempat untuk disusun kembali menjadi perahu pertama yang dibangun di daerah itu.
Bagaimana pun, kisah ini sebenarnya tak terdapat dalam siklus La Galigo: Dalam jalur ceritanya yang tergambar dalam berbagai naskahnya, Sawerigading akhirnya kembali ke Luwu dengan selamat – dan negeri ‘Cina’ yang ia tujui pada pelayarannya mencari We Cuddai pun bukan Tiongkok, tetapi dengan eksplisit dinamakan “Tana Ugi”, ‘Tanah Bugis’, yang berdasarkan berbagai temuan arkeologi diperkirakan terletak di kawasan Ale Cina, berdekatan dengan aliran sungai Cenrana di tengah sebelah timur jazirah Sulawesi Selatan.
Ya, jelaslah, legenda ini tak lebih daripada salah satu ikhtiar untuk “membenarkan cara kehidupan orang-orang Bontobahari yang tergantung dari pembuatan perahu [dan pelayaran / perdagangan laut]. Dengan ini mereka menjustifikasi monopoli mereka atas pembuatan kapal.” (1, hlm. 10)